Minggu, 29 November 2015

Nostalgia: Jejak Pengalaman yang Terekam


Nemu tulisan di blog lamaku, dg judul "Puzzle Bulan Mei (1)"
--
hanya ingin bercerita, sebuah peristiwa yang sering membuatku tertawa jika mengingatnya…


Rabu, 19 Mei 2010

Hmm…hari yang cerah…aku bisa mengawalkan hari ini untuk ke Sekret ReMa, lagipula kemarin aku sudah janji pada Bu Menkominfo, untuk mengumpulkan jatah tulisanku di Remapost edisi Mei. Hari ini kuliahku kosong, jadwal hari ini dialihkan ke hari lain karena ada beberapa kelompok teman sekelasku tengah ujian Real Teaching di SD tempat KKN-PPL, sedangkan kelompok KKN-ku sudah ujian pekan lalu sesuai jadwal.

Upzz…rublik ‘Bincang Tokoh’ belum kuselesaikan! Akhirnya, pagi sekitar jam 7 pagi aku hubungi Pak PresMa untuk kuwawancarai terkait Pengawalan BEM SI Terhadap Kasus Century. Sebelumnya kuSMS dulu beliau untuk memastikan, tetapi tak dibalas. Kemudian langsung aku telepon dua kali, namun tak ada jawaban juga. Beberapa hari yang lalu aku gagal untuk menemui beliau langsung karena terhambat beberapa hal, terlebih jadwal yang kurang sinkron. Begitu waktu sudah mepet, kebingungan dech. Pasalnya Mas Fiqi sudah berangkat ke Jakarta kemarin pagi untuk persiapan agenda aksi tanggal 20 Mei, momentum Hari Kebangkitan Nasional. Aku bingung harus menghubungi siapa. Kuputar otakku untuk mengingat-ingat siapa anak Rema yang bisa kuwawancarai sebagai pengganti Mas Fiqi. Aha…Mas Asnan!!? Beliau kan Menteri Sospol Rema. Tanpa berpikir panjang, langsung kuketik nomornya ke handphone ibuku, hehe… Ceritanya baru nyewa HP ibu nich, soalnya nomor HP yang mereka pakai tak bersahabat kalau harus kupanggil lewat nomor HPku. Aku coba SMS dulu pakai nomorku sendiri, sebagai permintaan izin untuk kutelpon. Beberapa menit kutunggu, tak ada balasan. Karena aku sedang tidak ingin bersabar menunggu SMS, langsung saja kutelepon.

“Assalamu’alaikum…!”, nada sapaan yang khas dari seberang.

“Wa’alaikumussalam warohmatullohi wabarokaatuh. Mas Asnan, ini Isna”.

“Ow, Isna. Ada apa Isna?”, sahutnya segera.

“Barusan aku SMS, dah dibaca belum? Ta tunggu, malah ga dibales-bales sch?? “, jawabku.

“Ow iya, ada 2 sms…Lha gimana, gimana, Isna?”, tanyanya dengan nada yang seolah sedang menanyai seorang anak kecil. Ya, beliau memang seperti itu.

Akhirnya, aku sampaikan keinginanku dan alasan secara langsung. Eh, malah diketawain…

“Hahaha…katanya Remapost dah jadi? Tinggal terbit sebelum tanggal 20? Ini gimana ini?”, pertanyaan yang sedikit ingin menjatuhkanku dengan candanya.

“Yee…siapa yang bilang kalo’ udah jadi? Kemarin juga aku bilangnya sebelum tanggal 21, bukan tanggal 20. Lagian 90 % isi dah jadi kok, nanti juga mau diselesaiin. Gimana Mas, bisa ga? Wiz, pokok e bisa, ya!!!”.

Bukannya jawaban iya atau tidak, tapi malah menawarkan sederetan nama lain. Aku lontarkan saja beberapa alasan yang tidak terlalu kuat sebenarnya untuk menolak. Kuyakinkan beliau yang harus menolongku, dan berhasil.

“Ya sudah, nanti ketemu langsung aja di Rema, kan lebih enak ngobrolnya, kalau lewat telpon tu ga jelas. Jam 10 ya!”.

“Hah, jam 10? Terlalu siang tuh, lebih pagi lagi bisa? Segera ini Mas!”

“Oke, jam 9 ya!”

“Jam 8”.

“Emoh aku, pagi amat…ga bisa!”

“Ya dah, jam 8.30. Bisa ya Mas! Please!”, pintaku agak merayu.

“Ya, sudah…InsyaAllah. Tapi lebih sedikit ya!hehehe…”.

“Enggak! Isna aja dari rumah-Bantul, berani jam setengah sembilan kok… Masak Mas Asnan anak kost, deket, ga bisa?”, maksa nich.

Setelah proses tawar menawar cukup, segera kututup telponnya. Alhamdulillah…sudah dapat cadangan. Tiba-tiba aku terpikir untuk menelpon ulang Mas Fiqi, siapa tahu kali ini diangkat. Sayang kan kalau hanya dipakai sedikit, karena nomer ibu sudah terlanjur aku daftarkan program Talkmania.

Yuhui…apa kataku. Satu, dua, tiga kali tidak berhasil, maka siapkan untuk yang keempat kalinya,never give up-lah intinya! Dan, alhasil panggilanku diterima. Setelah berbasa-basi sebentar, langsung kuutarakan ulang perihal tujuanku menelpon beliau, dan beliau langsung mengerti karena beberapa kali sebelumnya sudah aku kejar-kejar untuk wawancara. Satu per satu pertanyaan aku sampaikan, ya terkadang pertanyaan yang tak begitu logis aku tanyakan, kadang pula jawaban yang tidak logispun dijawabnya. Ah, itu hanya untuk intermeso saja, sekalian menyambung diskusi.

Setelah mendapatkan jawaban yang cukup, segera kusudahi pembicaraan itu, karena tak terasa 30 menit sudah aku mewawancarai beliau. Akupun berpamitan, kututup telponku, dan kumatikan pula recorder yang kupakai untuk merekam selama wawancara berlangsung. Hasil rekaman suara itu segera aku pindahkan ke laptop-ku.

Akupun bergegas untuk bersiap-siap dan berangkat ke kampus, sudah terlanjur janji juga dengan Mas Asnan. Meskipun sudah berhasil mewawancarai Mas Fiqi, siapa tahu nanti dengan berbicara dengan Mas Asnan bisa semakin mempertajam pemahamanku, sehingga bisa mengolah ulang jawaban-jawaban Mas Fiqi yang lumayan high grade, apalagi aku tak terlalu paham terkait Kasus Century ini.

–***–

Teringat target waktu untuk naik cetak, rublik ini harus segera kuselesaikan. Aku sedikit kesulitan mengetik hasil wawancara itu. Mengetik sambil mendengarkan rekaman, berulang-ulang me-repeat, kadangpula aku dekatkan telingaku ke samping sumber suara dari laptopku, karena suara rekamanku tersaingi oleh musik dari komputer Rema, apalagi pakai external sound, lebih mantap suaranya.

Ternyata ada yang peka dan sedikit memperhatikan kesibukanku, Mas Mekel memberikan handset-nya untuk membantuku memperlancar tugasku. Hehehe…jadi malu. Mas Mekel emang kelihatannya cuek, tapi beliau baik, pernah memberiku es krim rasa sapi juga, eh rasa susu sapi nding… sampai-sampai aku tuliskan dalam buku harian curhat Rema, ada Singa berhati Sapi, hihihi…! Eitzz, yang dikasih es krim tidak hanya aku lho, tetapi juga kedua temanku. So, beliau mengalah dech…tidak ikut makan. Padahal es krim itu niatnya mau dimakan sendiri pasti, karena es krim adalah makanan favoritnya. Dan nampaknya sekarang es krim menjadi makanan favorit anak-anak Rema.

Siiip…!! Terimakasih Mas Mekel… Jobku cepet selesai nich! Handsetnya benar-benar membantu, memfokuskan pendengaran dan konsentrasiku. Sekitar jam 10.30 tugasku selesai, tak tersadari ternyata di ruangan itu sudah ada banyak manusia dari segala penjuru fakultas. Di Ruang Rapat samping Sekret Rema yang untuk sementara beralih fungsi untuk menyimpan jas almamater dan kaos untuk maba, ada Mbak Nurha, menteriku tengah sibuk meng-edit seluruh isi tulisan yang bakal dimuat di Remapost. Mbak Uut, Mbak Tantri, Dek ‘Capa ya?’ (Maaf, belum hafal namanya) lagi sibuk nyiapin buat agenda RLC tanggal 23 Mei. Mas Mekel, Mas Asnan, Mas Diqi dan beberapa anak BEM F sedang sibuk mempersiapkan peralatan yang akan dibawa ke Jakarta sore ini. Lhoh, ini kok adakemenyan, tungku kecil, areng, sekeranjang kembang setaman, dan 3 tas besar berisi baju Jawa?

Aduh-aduh, ada indikasi anak-anak Rema sudah mulai syirik ini. Upzz, itu peralatan yang akan mereka bawa ke Jakarta. Katanya sich, ceritanya waktu aksi tanggal 20 besok dari BEM REMA UNY mau menunjukkan teatrikal ‘merukyah Budiono dan Sri Mulyani biar setannya pergi dan mereka segera sadar’. Duh, ada-ada saja anak Rema ini, nggak ngihwah banget sich!

–***–

“Wah, perutku laper nich, dari pagi mikirin kejelasan orang yang ikut ke Jakarta bikin ga doyan makan”, keluh Mas Asnan setelah selesai mengfixkan orang-orang Rema maupun BEM F yang akan ikut serta dalam aksi esok.

“Isna… Sudah makan belum? Aku laper nich Is!”, tanya Mas Asnan dengan nada yang bisa kuterjemahkan apa maksudnya.

“Isna kan anak rumahan, Mas. Tiap pagi dah makan donk!”. “Hmm…bau-bau ga enak nich perasaan”, lanjutku.

“Ini kan udah siang, Isna pasti laper, ya kan? Nich ta kasih uang Is!”, rayu Mas Asnan sambil menyiapkan selembar uang seratus ribuan.

“Tuh kan, baunya ga enak beneran…!”.

“Iyo, Is! Kita laper, lagian dirimu kosong kan? Dibayari Asnan kok”, timpal mbak Nurha.

“Nah, mau ya Is, ya! Tuh Mas Diqi juga laper”, tambah Mas Asnan.

“Uang apa itu, Nan? Halal kan? Bukan uang yang buat aksi kan?”, tanya Mas Diqi memastikan.

“Ngece ki, yo udu, duite dhewe, bar tompo pitungatussewu je!”.

“Nah sip, itu lho belinya di Anjli aja!”.

“Mana itu? Isna ga tau tempat-tempat yang biasa buat beli maeman di sini!”, tanyaku meminta penjelasan. Kemudian Mas Diqi memberikan penjelasan denah tempatnya sedetail mungkin.

“Ow iya Mas, motorku lagi dipinjam mbak Yoland, pake’ motor siapa ini?”

“Tuh, pakai motor Iva aja!”. “Ya, va?”.

Iva pun memberikan kunci sepeda motornya dan menjelaskan dimana ia parkir serta ciri-ciri sepeda motornya, karena aku memang benar-benar belum tahu. “Motornya tak taruh di parkiran samping SC, Vega warna merah putih, yang putih bagian belakang. Platnya AB bla bla bla RZ”, rekamanku.

Akupun berangkat diri menuju parkiran samping SC. Mataku mulai berkelana mengamati plat berakhiran Z di barisan paling timur, tak ada. Akupun masuk tempat parkir, kuamati barisan sebelah barat.

“Aha! vega, belakang putih, Z, ketemu! Tapi kok EZ bukan RZ ya? Oh, mungkin aku tadi salah dengar. Mungkin maksudnya EZ, bukan RZ!”, suara hatiku bertanya dan menjawab.

Lalu kucoba kunci itu untuk membuka jok belakang. Yupz, bisa dibuka. Itu artinya semakin meyakinkan bahwa aku tidak salah mengambil sepeda motor. Dan kuambil helm yang tercenthel di Jok, ingin kutinggal saja, toh tempat beli makan hanya dekat, sekitar 150 meter, di dekat Lembah UGM, tepatnya di pinggir jalan perbatasan UNY-UGM. Kupasang kunci itu di tempat semestinya, bisa masuk, tapi kok agak seret ya, ah mungkin karena memang sepeda motornya sudah agak tua. Kualihkan dari barisan, lantas aku hidupkan dengan starter kick-nya karena sepertinya starter otomatisnya sudah rusak. Siip, akupun melaju dengan sepeda motor itu mencari warung Anjli, kuamati satu per satu nama warung yang berada di kanan jalan, sesuai penjelasan yang diberikan Mas Diqi. Yuhui, tak perlu berputar-putar apalagi pakai acara nyasar, Warung Anjlipun kutemukan.

Setelah motor kuparkirkan, akupun segera memesan makanan.

“Silakan mbak, mau pesan apa?”, kata seorang laki-laki yang tengah menggoreng tempe. Desain tempat yang baru kusadari setelah pulang dari warung tersebut, tempat memasak atau dapur justru berada di ujung depan, tempat makannya berada di dalam, dan ternyata karyawannya laki-laki semua, wow…! Semakin banyak laki-laki yang mendominasi sektor ini.

“Nasi, ayam, 6 ya Mas, dibungkus! Es tehnya juga 6!”

Akupun duduk di kursi yang sudah disediakan untuk menunggu. Huft, lama! Maklum sich, karena pembelinyapun cukup banyak, so, kudu antri.

“Sudah mbak? Jadi total semuanya Rp 8.000 x 6 = Rp 48.000”.

“Ow, ya, ini Mas!”, kuulurkan uang seratus ribuan.

“Jadi kembaliannya Rp 52.000 ya mbak, silakan!”

Setelah kucek uang kembalian yang diberikan pas, akupun pamit, “Yak, pas! Terimakasih Mas!”.

“Iya, sama-sama Mbak”.

Hmm… makanan di kota mahal ya, mau makan pakai lauk ayam saja, 8.000 per porsi. Emang jauh lebih murah di kampung, harga 5.000 sudah bisa. Apalagi masak sendiri, yang masak ibu tapi, hehe… jauh lebih murah dan lebih enak pastinya. Jadi anak kost, emang mahal di makannya, beli terus sich.

Huft… berat juga bawa nasi dan es teh 6 bungkus. Sebenarnya tidak terlalu berat kalau dibawa sambil jalan kaki saja, jadi bisa dibagi 2 tangan. Mau tak mau, harus bisa, hati-hati, jangan sampai jatuh ya! Tangan kiri membawa barang, tangan kanan memegangi stang untuk mengemudikan sepeda motor. Pelan-pelan akhirnya sampai di tempat parkir samping SC.

Lhoh, kok ada banyak orang? Saat aku datang, semuanya mengarah kepadaku. “Nah, itu dia!”, suara terdengar sangat tegas dan sepertinya dihantarkan aura emosi. Apa yang salah padaku? Semua mata di sana menatap ke arah diriku. Dan tak ada yang aku kenal wajah-wajah itu. Ya Rabb, apa yang terjadi? Aku tak merasa melakukan kesalahan yang mengusik orang lain. Aku juga tak pernah berulah yang macam-macam.

“Mbaknya pakai motor siapa?”, tanya Pak Penjaga Parkir SC.

“Motor teman saya, Pak. Anak BEM Rema”.

Waktu ditanya siapa nama temanku itu, seketika itu juga aku lupa namanya, karena memang aku belum terlalu hafal dengan nama Iva. Kemudian aku jelaskan bagaimana aku mengambil motor itu. Kunci sepeda motor itupun diminta Pak Penjaga untuk di pasang ke sepeda motor yang mereka curigai, yang tak lain adalah motor Iva yang asli. Ya, sepertinya aku salah ambil motor.

“Sebentar ya Mas, saya panggilkan dulu orang yang meminjami saya motor”.

Aku lari masuk ke SC, langsung menuju Sekret Rema. Di sana Iva sedang memasang leaflet bersama Mas Asnan di depan pintu Sekret, langsung kusampaikan bahwa aku kena kasus. Kuberikan barang-barang itu pada Mas Asnan, saking kebawa cemas, aku sampai lupa adab. Bagaimana Mas Asnan bisa mengambil barang sebanyak itu dari tanganku? Menerima dari bawah seketika, tidak mungkin, terlalu banyak. Jika dari atas, terhalang oleh tanganku, itu artinya beliau akan menyentuh tanganku. Tidak! Pintu Rema masih dikunci, mungkin karena ditinggal sholat. Untungnya pikiran beliau adem, ada loker di samping pintu sebelah timur, beliau memintaku menaruhkan barang-barang itu di atasnya.

Kuajak Iva ke parkiran samping SC. Dan kami selesaikan masalah itu di sana.

Oh, No! Benar ternyata, aku salah ambil sepeda motor orang lain. Pak Penjaga dan pemilik sepeda motor itupun paham, tak memperpanjang masalah itu, karena memang alasanku dan buktinya sesuai dan juga bukan kesalahanku sepenuhnya. Sekali lagi, itu adalah kesalahan yang bercampur ketidaksengajaan.

“Makanya mbak, lain kali kalau pinjam motor itu diperhatikan nomor platnya, dihafalkan!”, tegas seorang teman sang pemilik sepeda motor tanpa senyum sedikitpun.

Huft, ini orang ketus banget, yang punya saja tidak emosi. Tanpa pembelaan lagi, akupun menjawab, “Iya Mas, maaf ya, saya benar-benar ga sengaja!”.

Sang pemilik hanya tersenyum. Dan ternyata, dia merupakan teman sekelasnya mbak Nurha. Itu aku tahu setelah Mbak Nurha ikut menghampiriku di tempat parkir. Hmm…barusan aku sedang berhadapan dengan anak FBS, ya sudah karakternya seperti itu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan berbagi...^_^