Minggu, 29 November 2015

Abi-Ummiku Kompak


Hari Jumat, 25 Oktober 2013 kemarin di sekolah ada agenda Temu Wali. Belum usai kulaksanakan sholat dhuhur, tamu undangan yaitu para orang tua siswa sudah berdatangan. Kutengok jam dinding mushola, sudah pukul 13.02. Ba’da sholat dhuhur langsung kugelar karpet dan tikar di mushola sekolah. Kutata meja presensi. Makan siang? Gak sempat, biarlah dibungkuskan Simbah (ibu dapur).
Hari ini agenda Temu Wali kami pecah menjadi dua. Kelas 1 dengan agenda utama pembentukan forsigo dan pembagian hasil UTS bertempat di mushola sekolah, sedangkan kelas 2-6 dengan agenda school parenting dan pembagian hasil UTS bertempat di masjid Al-Manar.
Aku dan dua wali kelas 1 yang lain standby di mushola sekolah. Karena hanya bertiga, kami bagi tugas, Bu Atiek menjadi MC, Pak Bai yang among tamu, dan aku menjaga presensi serta snack.
Saat menjaga presensi, ada hal menarik yang aku temui. Seorang ibu, orang tua salah seorang siswa 1C. Bertanya padaku, “Lho Bu, yang kelas 5 tidak di sini?”. “Tidak Bu, ini khusus kelas 1, kelas 2 sampai 6 di masjid Al-Manar”, jawabku. Si Ibu yang kemudian di belakangnya ternyata diikuti seorang bapak, memberi isyarat, “Bi, kelas 5 di Al-Manar, Abi ke sana ya, Ummi di sini”. Oh, ternyata suaminya. Kedua putra beliau memang di sekolahkan di sini, kelas 5 dan kelas 1. Pendatang dari Jakarta. Tanpa menjawab, Si Bapak hanya tersenyum mengisyaratkan setuju. “Daaa, Abi...”, sambil melambaikan tangan dan tersenyum ceria setengah manja. Usia yang bisa dikatakan tidak muda lagi, berputera 3 dengan sulungnya duduk di bangku SMP, namun “mudanya” masih terasa, romantis pula. Yang menarik bukan soal romantisnya saja. Lantas? Bagi sebagian besar orang tua yang sering saya temui, jika menyekolahkan anaknya lebih dari 1 anak di sekolah yang sama, ketika ada acara Temu Wali, pengambilan raport, dan sebagainya pasti menggunakan istilah “sisan-pisan”. Cukup terwakilkan oleh ayah atau ibu saja, dan jika acara terpisah maka bergantian masuk kelas satu berikutnya kelas satunya. Tidak salah memang. Namun, kalau kedua orang tua (ayah-ibu) sama-sama bisa (mengusahakan) hadir bersama, kenapa tidak? Kompak.
Peserta sudah cukup banyak, waktu sudah pukul 13.30, acarapun dimulai. Pembukaan, tilawah oleh 3 siswa perwakilan masing-masing kelas 1. Kemudian sambutan dan pengarahan dari kepala sekolah, dilanjutkan pembagian forum per kelas untuk FGD.
Wah, kelasku paling lebar forumnya. Alhamdulillah, hipotesaku: orang tua 1B banyak yang hadir. Hal itu otomatis menambah semangatku untuk bersiap menghadapi para orang tua yang telah menitipkan putra-putrinya kepadaku. Ini forum pertamaku bersama orang tua 1B.
Kubuka forum. Perkenalan singkat satu per satu. Nama, nama anaknya, dan alamat. Sambil kucocokkan dengan presensi yang telah diisi. Wow, ada 22 nama orang tua, sedangkan siswaku ada 23. Kehadiran hampir 100%. Padahal, sebelum acara dimulai, ada 2 orangtua siswa yang izin tidak bisa menghadiri acara. Setelah perkenalan usia, kudapati kedua orangtua salah seorang siswaku hadir bersama. Lagi-lagi, aku menemukan orangtua yang kompak.
Ada 3 agenda yang aku siapkan untuk dibahas di forum, yaitu pembentukan Forsigo (forum silaturahim guru dan orang tua), info internal kelas, dan pembagian hasil UTS.
Pertama, kupandu forum untuk membentuk pengurus Forsigo, minimal ketua, sekretaris, bendahara. Sebelumnya, kusampaikan beberapa model Forsigo yang pernah kutemui di kelas sebelumnya. Ada beberapa usulan dan ajuan nama. Akhirnya posisi sekretaris dan bendahara lebih dahulu terisi oleh ibu-ibu. Pemilihan ketua agaknya cukup memakan waktu lama. Berdasarkan beberapa usulan, ketua dipegang oleh bapak-bapak. Agar tak berlama-lama, langsung kulempar pandang dan tawaran kepada salah seorang bapak. Disertai dukungan dari forum, akhirnya Si Bapak tersenyum dan iya mengangguk. Siapa beliau? Beliau yang datang bersama Si Ibu, istrinya. Alhamdulillah...
Kedua, aku menyampaikan beberapa hal pengarahan yang berkaitan dengan model atau sistem yang kuterapkan di kelas, sekaligus menghimpun dukungan orangtua untuk keberhasilan belajar putra-putrinya. Terkait sholat, ngaji, hafalan, dan infaq. Tentang kebiasaan-kebiasaan siswa di kelas yang butuh dukungan pula untuk dilanjutkan di rumah.
Ketiga, pembagian hasil UTS. Aku hanya berpesan dan mewanti-wanti agar orang tua tidak terlampau bangga ataupun kecewa dengan hasil UTS. Tak ingin orang tua terjebak pada wilayah akademik dengan deretan nilai. Sayang sekali, jika masih kelas 1 siswa bersekolah sudah diorientasikan hanya untuk deretan nilai. Biarlah kebiasaan baik atau akhlaq mereka tumbuh sebagaimana fitrohnya dengan sentuhan nilai illahiah. Biarkan kita bentuk pola belajar yang baik dulu.
Bantul, 27 Oktober 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan berbagi...^_^