Hari Jumat, 25 Oktober 2013 kemarin di sekolah ada agenda Temu Wali. Belum usai kulaksanakan sholat dhuhur, tamu undangan yaitu para orang tua siswa sudah berdatangan. Kutengok jam dinding mushola, sudah pukul 13.02. Ba’da sholat dhuhur langsung kugelar karpet dan tikar di mushola sekolah. Kutata meja presensi. Makan siang? Gak sempat, biarlah dibungkuskan Simbah (ibu dapur).
Hari ini agenda Temu Wali kami pecah menjadi
dua. Kelas 1 dengan agenda utama pembentukan forsigo dan pembagian hasil UTS
bertempat di mushola sekolah, sedangkan kelas 2-6 dengan agenda school
parenting dan pembagian hasil UTS bertempat di masjid Al-Manar.
Aku dan dua wali kelas 1 yang lain standby di
mushola sekolah. Karena hanya bertiga, kami bagi tugas, Bu Atiek menjadi MC,
Pak Bai yang among tamu, dan aku menjaga presensi serta snack.
Saat menjaga presensi, ada hal menarik yang
aku temui. Seorang ibu, orang tua salah seorang siswa 1C. Bertanya padaku, “Lho
Bu, yang kelas 5 tidak di sini?”. “Tidak Bu, ini khusus kelas 1, kelas 2 sampai
6 di masjid Al-Manar”, jawabku. Si Ibu yang kemudian di belakangnya ternyata
diikuti seorang bapak, memberi isyarat, “Bi, kelas 5 di Al-Manar, Abi ke sana
ya, Ummi di sini”. Oh, ternyata suaminya. Kedua putra beliau memang di
sekolahkan di sini, kelas 5 dan kelas 1. Pendatang dari Jakarta. Tanpa
menjawab, Si Bapak hanya tersenyum mengisyaratkan setuju. “Daaa, Abi...”,
sambil melambaikan tangan dan tersenyum ceria setengah manja. Usia yang bisa
dikatakan tidak muda lagi, berputera 3 dengan sulungnya duduk di bangku SMP,
namun “mudanya” masih terasa, romantis pula. Yang menarik bukan soal
romantisnya saja. Lantas? Bagi sebagian besar orang tua yang sering saya temui,
jika menyekolahkan anaknya lebih dari 1 anak di sekolah yang sama, ketika ada
acara Temu Wali, pengambilan raport, dan sebagainya pasti menggunakan istilah
“sisan-pisan”. Cukup terwakilkan oleh ayah atau ibu saja, dan jika acara
terpisah maka bergantian masuk kelas satu berikutnya kelas satunya. Tidak salah
memang. Namun, kalau kedua orang tua (ayah-ibu) sama-sama bisa (mengusahakan)
hadir bersama, kenapa tidak? Kompak.
Peserta sudah cukup banyak, waktu sudah pukul
13.30, acarapun dimulai. Pembukaan, tilawah oleh 3 siswa perwakilan
masing-masing kelas 1. Kemudian sambutan dan pengarahan dari kepala sekolah,
dilanjutkan pembagian forum per kelas untuk FGD.
Wah, kelasku paling lebar forumnya.
Alhamdulillah, hipotesaku: orang tua 1B banyak yang hadir. Hal itu otomatis menambah
semangatku untuk bersiap menghadapi para orang tua yang telah menitipkan
putra-putrinya kepadaku. Ini forum pertamaku bersama orang tua 1B.
Kubuka forum. Perkenalan singkat satu per
satu. Nama, nama anaknya, dan alamat. Sambil kucocokkan dengan presensi yang
telah diisi. Wow, ada 22 nama orang tua, sedangkan siswaku ada 23. Kehadiran
hampir 100%. Padahal, sebelum acara dimulai, ada 2 orangtua siswa yang izin
tidak bisa menghadiri acara. Setelah perkenalan usia, kudapati kedua orangtua
salah seorang siswaku hadir bersama. Lagi-lagi, aku menemukan orangtua yang kompak.
Ada 3 agenda yang aku siapkan untuk dibahas
di forum, yaitu pembentukan Forsigo (forum silaturahim guru dan orang tua),
info internal kelas, dan pembagian hasil UTS.
Pertama, kupandu forum untuk membentuk
pengurus Forsigo, minimal ketua, sekretaris, bendahara. Sebelumnya, kusampaikan
beberapa model Forsigo yang pernah kutemui di kelas sebelumnya. Ada beberapa
usulan dan ajuan nama. Akhirnya posisi sekretaris dan bendahara lebih dahulu
terisi oleh ibu-ibu. Pemilihan ketua agaknya cukup memakan waktu lama.
Berdasarkan beberapa usulan, ketua dipegang oleh bapak-bapak. Agar tak
berlama-lama, langsung kulempar pandang dan tawaran kepada salah seorang bapak.
Disertai dukungan dari forum, akhirnya Si Bapak tersenyum dan iya mengangguk.
Siapa beliau? Beliau yang datang bersama Si Ibu, istrinya. Alhamdulillah...
Kedua, aku menyampaikan beberapa hal
pengarahan yang berkaitan dengan model atau sistem yang kuterapkan di kelas,
sekaligus menghimpun dukungan orangtua untuk keberhasilan belajar
putra-putrinya. Terkait sholat, ngaji, hafalan, dan infaq. Tentang
kebiasaan-kebiasaan siswa di kelas yang butuh dukungan pula untuk dilanjutkan
di rumah.
Ketiga, pembagian hasil UTS. Aku hanya
berpesan dan mewanti-wanti agar orang tua tidak terlampau bangga ataupun kecewa
dengan hasil UTS. Tak ingin orang tua terjebak pada wilayah akademik dengan
deretan nilai. Sayang sekali, jika masih kelas 1 siswa bersekolah sudah
diorientasikan hanya untuk deretan nilai. Biarlah kebiasaan baik atau akhlaq
mereka tumbuh sebagaimana fitrohnya dengan sentuhan nilai illahiah. Biarkan
kita bentuk pola belajar yang baik dulu.
Bantul, 27 Oktober 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan berbagi...^_^