Senin, 19 Mei 2014

MENCARI SENYUMANMU*


Tingtong, time to finish the lesson today.
Terdengar bel pulang berbunyi. Setelah berdoa bersama dan memulangkan anak-anak, bergegas aku menuju ruang kantor guru. Kurapikan buku-buku yang ada di atas meja kerjaku. Kupastikan sebelum pulang mejaku dalam keadaan rapi. Hari ini aku akan pulang lebih awal, seperti setiap hari Selasa biasanya, aku tak bisa berlama-lama di sekolah karena ba’da Asar aku punya acara rutin yang tidak boleh diganggu gugat.
Kuambil slayer dan kunci sepeda motorku di laci.
Prakkk! Sebendel kertas jatuh dari laciku. Ternyata soal-soal ujian semester gasal tahun lalu tersampar oleh tanganku. Tertahan sejenak. Ya, ini adalah kumpulan soal untuk salah satu siswaku yang beberapa hari ini tidak masuk tanpa kabar. Sudah kucoba menghubungi orang tuanya via sms, namun tak ada balasan, malah terakhir smsku Senin kemarin tak menunjukkan tanda terkirim. Lantas sudah kucek dengan meneleponnya dengan telepon sekolah pun tak tersambung.
Febri, kamu kenapa Nak? Aku begitu mengkhawatirkan anak ini. Dua pekan yang lalu, dia tak masuk sekolah selama tiga hari, kemudian hari berikutnya masuk. Saat kutanya kenapa, dia mengatakan ibunya sakit, tak ada yang mengantarnya sekolah. Lantas hari berikutnya, Jumat itu dia tidak berangkat sekolah. Sampai hari ini, tanpa kabar.
Ups!! Jam dinding sekolah menunjukkan pukul 15.10, langsung saja kumasukkan lagi bendelan soal itu ke dalam laci. Bergegas aku berpamitan dengan beberapa guru yang masih berada di ruang kantor guru, kemudian aku check out dengan fingerspot sekolah yang baru itu.
***
“Yuk, sekarang kita doakan teman sekelas kita. Semoga semua siswa kelas 1B diberikan kesehatan dan kepandaian. Semoga semua menjadi anak yang sholeh dan sholehah. Semoga orang tua kita semakin sayang kepada kita.”
“Aamiin...aamiin...aamiin...!”
Aku memang sering mengajak siswaku untuk mendoakan orang tua, teman, dan saudara dengan bahasa sendiri setelah sholat Dhuha beserta dzikir dan doanya dengan bahasa Arab dipanjatkan. Tak jarang, ada siswa yang suka menangis saat diajak mendoakan ayah dan ibunya. Hati mereka sangat lembut.
“Bu...bu, Febri kok lama gak masuk?”, tanya salah satu siswaku.
“Febri sakit, Bu?”, sahut siswa yang lain.
“Febri pindah kayak Denysa apa, Bu?”, tukas siswa lainnya.
Denysa adalah salah satu siswaku yang sejak awal belum bisa menyesuaikan diri berinteraksi dengan teman baru. Hingga akhirnya memutuskan untuk belajar di rumah saja.
“Tidak kok, Mbak Febri tidak pindah. Bu Guru sudah sms dan menelepon, tetapi belum ada balasan. Kita doakan saja ya, Mbak Febri dan keluarganya sehat, semoga bisa segera berangkat sekolah lagi”.
“Bu, mbok Febri dijemput aja ke rumahnya!”, pinta salah satu siswaku.
“Iya, insyaAllah nanti sore Bu Guru mau ke rumahnya Mbak Febri. Temen-temen mau nitip pesan apa untuk Mbak Febri?”.
“Itu Bu, susu kotaknya buat Febri, hehee...”, menunjuk pada susu kotak jatahnya Febri yang belum tersampaikan.
Ahhh...anak-anak begitu peka dan peduli kepada temannya. Aku semakin yakin, nanti sore aku harus menjenguknya ke rumah. Ini hari terakhir anak-anak belajar di sekolah sebelum Ulangan Akhir Semester yang terjadwal mulai besok Senin. Ada beberapa hal yang harus aku sampaikan, antara lain kisi-kisi ujian, surat pemberitahuan dari sekolah, surat pemberitahuan informasi keputusan Forsigo 1B, dan dua kotak susu.
***
Innalillahi wainnailaihi roji’un...
Disampaikan kabar bahwa nenek dari salah satu rekan kerja di Salsabila 3 ada yang meninggal dunia. Pagi tadi, salah satu guru, Bu Luluk berpamitan dan meminta doa karena tidak bisa hadir tersebab tengah menunggui neneknya yang sedang sakit kritis di rumah sakit. Ternyata sore ini kami mendapatkan kabar kepulangan beliau. Semoga khusnul khatimah...
Jam dinding mushola menunjukkan pukul 16.00, setelah Kajian Rutin Salsabila usai, kuajak beberapa guru untuk bertakziyah bersama. Hanya Bu Irma dan Bu Ika yang bisa membersamai. Beberapa guru dan karyawan memang sudah berangkat takziyah lebih awal, beberapa yang lain berhalang ikut. Padahal sore ini aku berencana untuk berkunjung ke rumah Mbak Febri. Berharap rencanaku tercapai dengan target waktu tidak terlalu larut.
Sebelum berangkat, kucari bekal denah alias ancer-ancer dahulu kepada salah satu guru yang sudah takziyah dan sudah kembali ke sekolah. Pukul 16.15, kami bertiga dengan berkendara sepeda motor masing-masing segera tancap gas bergegas berangkat ke arah Piyungan melalui Jalan Wonosari.
Alhamdulillah sampai di lokasi lancar, meskipun harus kebablasen sedikit karena mencari tanda bendera putih yang ternyata memang dipasang tidak terlalu mudah diakses. Setelah memarkir sepeda motor, kami menuju rumah duka. Sempat berjumpa dengan rombongan guru dan karyawan yang terlebih dahulu sampai lokasi, namun mereka berpamitan untuk pulang lebih dulu.
Setelah beramah tamah dan menyampaikan atur bela sungkawa kepada Bu Luluk. Lantas kami berpamitan pulang, sebelumnya saya meminta arahan rute menuju rumah siswa yang akan aku kunjungi, yaitu Perumahan Dirgantara Asri. Ternyata dari lokasi takziyah hanya tinggal menyeberang ke utara, namun masih harus mengurai jalan. Alhamdulillah, sore ini aku mengenal jalan baru.
Ups...! jauh ternyata...
Sesampai di perumahan yang dimaksud, kami mencari nomor rumah orang tua Mbak Febri, blok I nomor 10. Sebelum terlampau lama mencari alamat, kami memilih untuk bertanya kepada warga perumahan tersebut yang kebetulan berada di depan rumah.
“Nyuwun pangapunten Pak, badhe tanglet.”
“Nggih, monggo, madosi griyanipun sinten, Mbak?”
“Pak Bambang Gunawan, I/10 pundi nggih Pak?”
“Ohhh, setelah mobil di depan itu, Mbakke belok kiri, pertigaan pertama belok kanan. Kanan jalan ada rumah cat warna merah, itu rumahnya Pak Bambang. Pak Bambang yang kerja di Dinas Pendidikan itu kan?”, seorang warga mengarahkan rute kepada kami.
“Nggih, Pak. Leres. Matur nuwun nggih, Pak!”
“Nggih, monggo...monggo...!”
Kami langsung bergegas ke arah yang ditunjukkan tadi. Di samping rumah yang dimaksud ada beberapa ibu-ibu bersama anak-anak tengah duduk-duduk dan becanda di depan rumah mereka. Kami langsung memarkir sepeda motor kami.
“Maaf, Bu. Yang ini rumahnya Mbak Febri?”
“Febri siapa? Ini Mbak-mbaknya dari mana?”
“Kami dari SDIT Salsabila 3 Banguntapan, Bu!”
“Ohhh, Febri anaknya Pak Bambang? Ini Bu Gurunya? Wah, sudah seminggu lebih rumah ini kosong Mbak. Febri tidak masuk sekolah apa?”
“Iya Bu, sudah dua pekan Mbak Febri tidak masuk sekolah.”
“Ohhh, yo bener. Kemarin hari Minggu sore ibunya pingsan, Mbak. Tidak sadar diri, terus kemarin itu mau dibawa ke Rumah Sakit Harjolukito sampai sekarang belum pulang. Kalau Febrinya mungkin di titipkan ke tempat budhenya.”
“MasyaAllah...jadi sekarang ibunya Mbak Febri dirawat di Harjolukito? Lha itu, budhenya Mbak Febri rumahnya di daerah mana, Bu?”
“Wah, tidak tau, Mbak. Daerah Sleman sepertinya, tetapi kurang tahu Slemannya mana.”
“Oh ya Bu, saya boleh minta nomor handphone-nya Pak Bambang? Saya menghubungi yang nomornya ibu tidak tersambung.”
“Wah, gak punya Mbak. Coba njenengan ke rumahnya Pak RT saja, pasti punya. Rumahnya tadi dekat pintu masuk, yang sebelahnya lapangan voli.”
Kamipun berpamitan dan menuju rumah Pak RT.
Akhirnya kami sampai di rumah Pak RT, ternyata Pak RT sedang bepergian, rumah kosong. Tanpa berpikir lama. Aku memutuskan untuk mencari orang tua Febri ke Rumah Sakit Harjolukito, Bu Irma dan Bu Ika tak tega untuk pulang, mereka memutuskan untuk membersamaiku ke rumah sakit.
Dalam perjalanan, mulai terdengar adzan untuk sholat maghrib telah berkumandang. Kupacu Si Firoku lebih kencang. Ya, Firo adalah nama sepeda motorku. Saksi perjuangan dan perjalananku sejak SMA-kuliah-hingga sekarang. Bu Irma dan Bu Ikapun turut memacu kendaraan masing-masing. Setiba di rumah sakit, kami langsung menuju masjid yang terletak di tengah area rumah sakit untuk melaksanakan sholat Maghrib terlebuh dahulu. Alhamdulillah...sangat menenangkan.
Kami melanjutkan perjuangan dengan mencari informasi di bagian receptionist. Seorang Bapak tengah baya yang bertugas di depan layar komputernya. Beliau begitu tanggap dengan kehadiran kami di meja informasi tersebut.
“Ada yang bisa saya bantu, Mbak?”
“Maaf Pak, mau tanya.”
“Iya, silakan duduk dulu, Mbak!”
“Iya, terima kasih Pak. Begini Pak, saya mencari pasien atas nama Ibu Puji. Kalau tidak salah check in hari Minggu sore.”
“Ya, saya cek dulu ya Mbak”, beliau langsung mengecek data di komputer. “Hari Minggu yang masuk namanya Muji, Mbak. Bukan Puji”.
“Bukan, Pak. Namanya Puji, ibu-ibu.”
“Ya, sebentar, saya cek lagi, rumahnya mana?”
“Perumahan Dirgantara Asri, suaminya bernama Pak Bambang”, jelasku melengkapi. “Kata tetangganya, kemarin sempat tidak sadar diri, Pak. Mungkin di ruang ICU?”, pintaku sok tahu.
Bapak petugas sibuk menginput data dan mencari informasi yang kuminta. Masih belum juga ketemu. Mungkin begitu melihat antusias dan penuh harapnya aku, beliau langsung menelepon tiga ruang ICU untuk memastikan. Hasilnya masih nihil. Semua ruangan tidak ada pasien bernama Ibu Puji.
“Maaf, Mbak. Tidak ada. Mungkin dibawa ke rumah sakit yang lain.”
“Iya ya, Pak? Ya sudah, Pak. Terima kasih. Mari Pak, saya permisi.”
Malam semakin larut, waktu sholat Isya’ menjelang. Aku tak bisa melanjutkan langkah. Akhirnya kuputuskan untuk pulang dan mencarinya di waktu yang lain. Aku, Bu Irma, dan Bu Ika berpisah di tempat parkir, melanjutkan langkah ke arah rumah masing-masing.
Selama perjalanan, menyusuri jalanan ringroad selatan Blok O hingga ringroad selatan Jalan Parangtritis, kemudian memotong arah ke selatan menyusuri Jalan Parangtritis Km. 4 hingga Km. 15, pikiranku terus tertuju pada siswaku tersebut. Berbagai macam pertanyaan berseliweran. Apakah aku harus menyambangi satu per satu rumah sakit se-Jogja? Atau mungkin aku datangi saja Dinas Pendidikan Sleman agar aku bisa mendapat contact person ayahnya Febri?
Ups!! Tak terasa, aku tinggal membelokkan stangku ke kanan dan menyeberang. Namun, kuurungkan. Aku memilih untuk berhenti di depan gerobak Martabak Mini Patalan. Ya, sekedar mampir membeli oleh-oleh untuk adikku, mumpung habis gajian!I Aku tak membeli banyak, karena hanya untuk aku dan adikku saja, kebetulan ibuku sedang tidak di rumah, beberapa hari ini ibuku menginap di rumah nenek.
“Mas, martabaknya, sepuluh ribu aja!”, aku memesan lantas duduk di sebelah kanan gerobak. Seorang laki-laki di sebelah kiri gerobak mencoba mengajakku tersenyum. Tak kubalas. Bingung. Lagi-lagi pikiranku masih tertuju pada siswaku, sambil kuoperasikan androidku, yang ternyata banyak pesan menanti untuk kubalas. Satu per satu. Selesai.
“Rasa apa, Mbak?”
“Coklat keju campur!”, terpaksa aku menoleh ke arah penjual dan terkaget saat melihat seorang laki-laki yang tadi mencoba menyapaku dengan senyuman. Sepertinya aku mengenalnya. Tiba-tiba diapun melempar pandangan ke arahku.
“Samsul?”, sapaku agak terkaget.
“Isna, tho? Mau arep tak sopo ndak salah e, kowe tak jak ngguyu ra respon”.
“Hehee...sori sori...lagi akeh pikiran”.
Samsul adalah teman sekelasku waktu di SD dan SMP. Lama kami tidak bertemu, hanya sesekali berkomunikasi via sms ataupun facebook. Padahal kami sekampus, beda fakultas. Namun aktivitas kami berbeda jauh, baru satu kali berjumpa di Gedung Student Center, pusat kegiatan mahasiswa tingkat universitas.
Kami masing-masing bertanya kabar, aktivitas sekarang, dan rencana masa depan. Kami bercerita cukup lama. Kami memang sudah akrab. Aghhh...tak terasa, martabak pesanan kami sudah jadi dari tadi, kutengok jam di handphoneku, sudah jam delapan lebih. Kami saling berpamitan. Eh, ternyata martabak pesananku dibayarinya. Alhamdulillah...^_^
Sesampai di rumah, kuceritakan perjalananku hari ini kepada adikku, sembari menikmati martabak yang sudah dingin itu. Padahal martabak mini itu lebih enak dinikmati saat masih hangat.
***
Aha...! Teringat teman organisasiku, dulu pernah mengatakan bahwa dia KKN PPL di Dinas Pendidikan Sleman, langsung kuambil handphoneku. Kukirimkan sms.
Pak Anggit, dl KKN PPL di Dinas Pendidikan Sleman?
Kenal Pak Bambang? Boleh minta no.hp blio?

SMSku langsung berbalas:
            Iya, Pak Bambang siapa?
Aku kenale Pak Bambang Nindyo, kebetulan jadi pembimbing KKN PPLku.
Ini no.hp nya. G tau masih aktif ato g. Emg buat apa?

SMS keduanya masuk, kontak.
Kubalas:
            Ini ada siswaku, 2 minggu gak masuk skul.
Kata tetangganya, bapaknya kerja di Dinas Pendidikan Sleman.
Rumahnya Perum Dirgantara bukan?
Balasannya:
Wah, ra reti nek rumahe dimana.yo jajal dikontak wae.
Kubalas lagi:
            Ok. Matur nuwun nggih..
Meskipun agak ragu, karena nama lengkapnya berbeda, tanpa mengulur waktu lagi, aku langsung mengirimkan sms ke nomor yang diberikan oleh temanku tadi. Terkirim. Berbalas.
Asslmu’alaykm..
Maaf Pak, apakah benar ini dg Pak Bambang?
Sy Isna. Gurunya Mb Febri di SDIT Salsabila 3 Banguntapan.
Sy dpt no Bpak dr teman sy, yg pernah KKN-PPL di kantor Bpak.

Wa’alaikumusalam,
Iya bu, ada apa ya?

Bagaimana kbar ibu, Pak? Kemarin sy ke rumah Bpak, tp ksong tdk ada org.
Kata ttgga, ibu opname di Harjolukito. Sy kesana kok tdk ad nama ibu.
Maaf Pak, besok Senin tgl 2 Des, sdh mulai UAS. Mb Febri sdh bs msk blm?

Kutunggu-tunggu, tak kunjung ada balasan. Apa aku salah sambung ya?
***
Dua pekan Ulangan Akhir Semester berlalu, Febri belum juga masuk sekolah. Beberapa sms yang kukirimkan tak ada jawaban. Sudah kucoba pula untuk menelepon. Hasilnya masih nihil. Hingga akhirnya kuberanikan diri untuk menelepon ke nomor yang diberikan temanku waktu itu, sebelumnya aku belum berani, karena sudah cukup yakin “mungkin” aku memang salah sambung. Pemilik nomor tersebut bukan Pak Bambang Gunawan. Tak ada salahnya aku memastikan. Kutelepon dengan telepon sekolah.
“Halo, assalamu’alaykum. Ada yang bisa saya bantu?”, terdengar suara di seberang.
“Wa’alaykumussalam Pak. Maaf Pak mengganggu, saya Isna, guru SDIT Salsabila 3 Banguntapan.”
“Iya, bagaimana Bu?”
Kemudian aku ceritakan secara singkat pencarianku. Kusampaikan dan kutanyakan rekan kerja di kantor tersebut yang bernama Pak Bambang, memang ada tiga nama Bambang. Namun yang beliau sebutkan tidak ada nama Bambang Gunawan. Beliau menyarankan untuk mencoba mencari nama Bambang yang lain di kantor Dinas Pendidikan yang lain.
Kututup percakapan dengan mengucapkan terima kasih. Aku galau lagi. Kemana lagi aku harus mencari?
***
Lima hari lagi pembagian rapor. Nilai untuk rapor kelasku belum usai terentri, hanya menunggu sederetan nilai seorang siswa saja, Febri. Tiba-tiba terlintas dalam pikiranku. Kenapa tidak aku coba datangi lagi rumahnya? Ada ya alhamdulillah, gak ada ya...takdir. Allah belum berkehendak mempertemukan kami.
Senin siang menjelang sore, kutancap gas sepeda motorku menuju rumah Febri, kali ini aku tak mencari teman. Sesampai di depan rumah bercat merah, ada harap dan seuntai senyum di hatiku. Pintu rumah terbuka, pertanda ada orang di rumah tersebut. Kuparkir rapi sepeda motorku agar tak memenuhi badan jalan. Keketuk pintu gerbang dan kuucapkan salam.
“Assalamu’alaykum...”.
Tak ada jawaban.
Kutunggu sebentar dan kuulangi salamku. Tak lama kemudian pintu gerbang dibuka. Seutas senyuman malu dan kaget menghiasi wajah seorang anak perempuan yang selama ini kucari-cari.
“Mbak Febri?!!!”, tanganku langsung disambutnya. Kupeluk tubuhnya. Febri nampak beda, sedikit pucat, dan tak seceria biasanya.
Seketika itu, kelegaanku membuncah. Haru. Bungah. Plong...
Akupun diajak masuk ke dalam rumah bertemu dengan ibunya. MasyaAllah, ibunya berbaring di lantai dengan alas kasur tipis, beberapa perabot di sekitarnya yang terlihat tak pada tempatnya. Hal tersebut sudah menjadi hipotesaku, kenapa Febri tak masuk sekolah begitu lama. Hanya mengandalkan ibu. Ketika ibu jatuh sakit, tak ada yang mengurus Febri, apalagi sekedar perabor rumah, tak ada yang merapikan.
Sang ibupun begitu kaget dan takjub melihat kedatanganku yang tiba-tiba ini. Bertanya kabar dan bercerita panjang lebar, tentang keluarga, tentang sakitnya, dan setelahnya. Tenyata Ibu Puji pada Minggu sore tiba-tiba tak sadarkan diri, kemudian dibawa ke RSU Sardjito. Opname di sana selama sekitar 3 minggu. Penyakit gulanya kambuh, katanya ini kambuh terparah. Febri dirawat oleh Budhenya yang tinggal di Kalasan Sleman. Meskipun ibu sudah pulang dari rumah sakit, tetapi kondisinya belum pulih benar. Jangankan naik sepeda motor untuk mengantar Febri berangkat sekolah, sekedar beraktivitas jalan di dalam rumah saja belum kuat. Badannya begitu kurus dan kering. Makanannya hanya tela-telaan atau makanan yang tak mengandung banyak gula.
Tentang keluarga Febri. Ternyata ayah dan ibu menikah sudah dalam keadaan tua, anak satu-satunya dari pernikahan mereka hanya Febri. Memang ada saudara Febri yang lain, namun beda ayah, maupun beda ibu, dan hampir semuanya sudah menikah. Pak Bambang Gunawan, ternyata bertugas di Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta, Jalan Cendana. Heummm...Pantesan...! Aku salah.
Usai cukup mendengarkan cerita beliau, aku sampaikan tujuan keduaku, yaitu mengantarkan soal UAS yang harus dikerjakan Febri, karena rapor harus segera diolah. Kebetulan sebelum berangkat ke rumah Febri tadi, aku siapkan segala berkas dan barang yang harus aku sampaikan. Ada soal latihan, kisi-kisi ujian, surat pemberitahuan dan undangan penerimaan rapor, surat informasi keputusan Forsigo, dan tiga kotak susu jatahnya Febri. Terkait UAS, aku memberikan keringanan dan kemudahan untuk Febri mengerjakan. Dia cukup mengerjakan di rumah, dan 2 hari lagi soal akan kuambil. Ujian prakteknya kebetulan hanya menyanyi untuk mata pelajaran SBK dan tahfiz atau hafalan, kuambil nilai saat itu juga. Make it simple.
Hari makin sore, aku berpamitan kepada ibu dan Febri. Meskipun sebenarnya, aku masih ingin bercerita dengan Febri, bertanya tentang keadaannya dari hati ke hati. Ada cahaya harap yang mampu kubaca dari wajahnya. Ada cerita yang ingin dia sampaikan, namun sepertinya waktu hampir 1 bulan menciptakan jarak hatinya dariku, agak kaku. Aku hanya mampu sedikit cerita tentang teman-teman 1B yang begitu merindukan kehadiran Febri. Berpamitan dengan Febri dan memberikan sepotong harapan untuknya segera kembali bersekolah dan optimis. Dia tersenyum. Tak banyak kata.
Akupun pulang, membawa sejuta kebahagiaan ke rumah. Hanya senyum yang kuuntai selama perjalanan pulang. Lega. Bahagia. Optimis.
***
Bantul, 1 Februari 2014
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
 *Cerpen ini mendapat penghargaan Juara I dalam perlombaan Menulis Cerpen Guru Inspiratif Tahun 2014 yang diselenggarakan oleh KKG Salsabila Yayasan SPA Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan berbagi...^_^