Tingtong, time to finish the lesson today.
Terdengar bel pulang berbunyi.
Setelah berdoa bersama dan memulangkan anak-anak, bergegas aku menuju ruang
kantor guru. Kurapikan buku-buku yang ada di atas meja kerjaku. Kupastikan
sebelum pulang mejaku dalam keadaan rapi. Hari ini aku akan pulang lebih awal,
seperti setiap hari Selasa biasanya, aku tak bisa berlama-lama di sekolah
karena ba’da Asar aku punya acara
rutin yang tidak boleh diganggu gugat.
Kuambil slayer dan kunci sepeda
motorku di laci.
Prakkk!
Sebendel kertas jatuh dari laciku. Ternyata soal-soal ujian semester gasal
tahun lalu tersampar oleh tanganku. Tertahan sejenak. Ya, ini adalah kumpulan
soal untuk salah satu siswaku yang beberapa hari ini tidak masuk tanpa kabar.
Sudah kucoba menghubungi orang tuanya via sms, namun tak ada balasan, malah
terakhir smsku Senin kemarin tak menunjukkan tanda terkirim. Lantas sudah kucek
dengan meneleponnya dengan telepon sekolah pun tak tersambung.
Febri,
kamu kenapa Nak? Aku begitu mengkhawatirkan anak
ini. Dua pekan yang lalu, dia tak masuk sekolah selama tiga hari, kemudian hari
berikutnya masuk. Saat kutanya kenapa, dia mengatakan ibunya sakit, tak ada
yang mengantarnya sekolah. Lantas hari berikutnya, Jumat itu dia tidak
berangkat sekolah. Sampai hari ini, tanpa kabar.
Ups!!
Jam dinding sekolah menunjukkan pukul 15.10, langsung saja kumasukkan lagi
bendelan soal itu ke dalam laci. Bergegas aku berpamitan dengan beberapa guru
yang masih berada di ruang kantor guru, kemudian aku check out dengan fingerspot sekolah
yang baru itu.
***
“Yuk, sekarang kita doakan teman
sekelas kita. Semoga semua siswa kelas 1B diberikan kesehatan dan kepandaian.
Semoga semua menjadi anak yang sholeh dan sholehah. Semoga orang tua kita
semakin sayang kepada kita.”
“Aamiin...aamiin...aamiin...!”
Aku memang sering mengajak siswaku
untuk mendoakan orang tua, teman, dan saudara dengan bahasa sendiri setelah
sholat Dhuha beserta dzikir dan doanya dengan bahasa Arab dipanjatkan. Tak
jarang, ada siswa yang suka menangis saat diajak mendoakan ayah dan ibunya.
Hati mereka sangat lembut.
“Bu...bu, Febri kok lama gak
masuk?”, tanya salah satu siswaku.
“Febri sakit, Bu?”, sahut siswa
yang lain.
“Febri pindah kayak Denysa apa,
Bu?”, tukas siswa lainnya.
Denysa adalah salah satu siswaku
yang sejak awal belum bisa menyesuaikan diri berinteraksi dengan teman baru.
Hingga akhirnya memutuskan untuk belajar di rumah saja.
“Tidak kok, Mbak Febri tidak
pindah. Bu Guru sudah sms dan menelepon, tetapi belum ada balasan. Kita doakan
saja ya, Mbak Febri dan keluarganya sehat, semoga bisa segera berangkat sekolah
lagi”.
“Bu, mbok Febri dijemput aja
ke rumahnya!”, pinta salah satu siswaku.
“Iya, insyaAllah nanti sore Bu
Guru mau ke rumahnya Mbak Febri. Temen-temen mau nitip pesan apa untuk Mbak Febri?”.
“Itu Bu, susu kotaknya buat
Febri, hehee...”, menunjuk pada susu kotak jatahnya Febri yang belum
tersampaikan.
Ahhh...anak-anak
begitu peka dan peduli kepada temannya. Aku
semakin yakin, nanti sore aku harus menjenguknya ke rumah. Ini hari terakhir
anak-anak belajar di sekolah sebelum Ulangan Akhir Semester yang terjadwal
mulai besok Senin. Ada beberapa hal yang harus aku sampaikan, antara lain
kisi-kisi ujian, surat pemberitahuan dari sekolah, surat pemberitahuan
informasi keputusan Forsigo 1B, dan dua kotak susu.
***
Innalillahi
wainnailaihi roji’un...
Disampaikan kabar bahwa nenek
dari salah satu rekan kerja di Salsabila 3 ada yang meninggal dunia. Pagi tadi,
salah satu guru, Bu Luluk berpamitan dan meminta doa karena tidak bisa hadir
tersebab tengah menunggui neneknya yang sedang sakit kritis di rumah sakit.
Ternyata sore ini kami mendapatkan kabar kepulangan beliau. Semoga khusnul
khatimah...
Jam dinding mushola menunjukkan
pukul 16.00, setelah Kajian Rutin Salsabila usai, kuajak beberapa guru untuk
bertakziyah bersama. Hanya Bu Irma dan Bu Ika yang bisa membersamai. Beberapa
guru dan karyawan memang sudah berangkat takziyah lebih awal, beberapa yang
lain berhalang ikut. Padahal sore ini aku berencana untuk berkunjung ke rumah
Mbak Febri. Berharap rencanaku tercapai dengan target waktu tidak terlalu
larut.
Sebelum berangkat, kucari bekal
denah alias ancer-ancer dahulu kepada
salah satu guru yang sudah takziyah dan sudah kembali ke sekolah. Pukul 16.15,
kami bertiga dengan berkendara sepeda motor masing-masing segera tancap gas
bergegas berangkat ke arah Piyungan melalui Jalan Wonosari.
Alhamdulillah sampai di lokasi
lancar, meskipun harus kebablasen
sedikit karena mencari tanda bendera putih yang ternyata memang dipasang tidak
terlalu mudah diakses. Setelah memarkir sepeda motor, kami menuju rumah duka.
Sempat berjumpa dengan rombongan guru dan karyawan yang terlebih dahulu sampai
lokasi, namun mereka berpamitan untuk pulang lebih dulu.
Setelah beramah tamah dan
menyampaikan atur bela sungkawa
kepada Bu Luluk. Lantas kami berpamitan pulang, sebelumnya saya meminta arahan
rute menuju rumah siswa yang akan aku kunjungi, yaitu Perumahan Dirgantara
Asri. Ternyata dari lokasi takziyah hanya tinggal menyeberang ke utara, namun
masih harus mengurai jalan. Alhamdulillah, sore ini aku mengenal jalan baru.
Ups...!
jauh ternyata...
Sesampai di perumahan yang
dimaksud, kami mencari nomor rumah orang tua Mbak Febri, blok I nomor 10.
Sebelum terlampau lama mencari alamat, kami memilih untuk bertanya kepada warga
perumahan tersebut yang kebetulan berada di depan rumah.
“Nyuwun pangapunten Pak, badhe
tanglet.”
“Nggih, monggo, madosi griyanipun
sinten, Mbak?”
“Pak Bambang Gunawan, I/10 pundi
nggih Pak?”
“Ohhh, setelah mobil di depan
itu, Mbakke belok kiri, pertigaan pertama belok kanan. Kanan jalan ada rumah
cat warna merah, itu rumahnya Pak Bambang. Pak Bambang yang kerja di Dinas
Pendidikan itu kan?”, seorang warga mengarahkan rute kepada kami.
“Nggih, Pak. Leres. Matur nuwun
nggih, Pak!”
“Nggih, monggo...monggo...!”
Kami langsung bergegas ke arah
yang ditunjukkan tadi. Di samping rumah yang dimaksud ada beberapa ibu-ibu
bersama anak-anak tengah duduk-duduk dan becanda di depan rumah mereka. Kami
langsung memarkir sepeda motor kami.
“Maaf, Bu. Yang ini rumahnya Mbak
Febri?”
“Febri siapa? Ini Mbak-mbaknya
dari mana?”
“Kami dari SDIT Salsabila 3
Banguntapan, Bu!”
“Ohhh, Febri anaknya Pak Bambang?
Ini Bu Gurunya? Wah, sudah seminggu lebih rumah ini kosong Mbak. Febri tidak
masuk sekolah apa?”
“Iya Bu, sudah dua pekan Mbak
Febri tidak masuk sekolah.”
“Ohhh, yo bener. Kemarin hari
Minggu sore ibunya pingsan, Mbak. Tidak sadar diri, terus kemarin itu mau
dibawa ke Rumah Sakit Harjolukito sampai sekarang belum pulang. Kalau Febrinya
mungkin di titipkan ke tempat budhenya.”
“MasyaAllah...jadi sekarang
ibunya Mbak Febri dirawat di Harjolukito? Lha itu, budhenya Mbak Febri rumahnya
di daerah mana, Bu?”
“Wah, tidak tau, Mbak. Daerah
Sleman sepertinya, tetapi kurang tahu Slemannya mana.”
“Oh ya Bu, saya boleh minta nomor
handphone-nya Pak Bambang? Saya menghubungi
yang nomornya ibu tidak tersambung.”
“Wah, gak punya Mbak. Coba
njenengan ke rumahnya Pak RT saja, pasti punya. Rumahnya tadi dekat pintu
masuk, yang sebelahnya lapangan voli.”
Kamipun berpamitan dan menuju
rumah Pak RT.
Akhirnya kami sampai di rumah Pak
RT, ternyata Pak RT sedang bepergian, rumah kosong. Tanpa berpikir lama. Aku
memutuskan untuk mencari orang tua Febri ke Rumah Sakit Harjolukito, Bu Irma
dan Bu Ika tak tega untuk pulang, mereka memutuskan untuk membersamaiku ke
rumah sakit.
Dalam perjalanan, mulai terdengar
adzan untuk sholat maghrib telah berkumandang. Kupacu Si Firoku lebih kencang.
Ya, Firo adalah nama sepeda motorku. Saksi perjuangan dan perjalananku sejak
SMA-kuliah-hingga sekarang. Bu Irma dan Bu Ikapun turut memacu kendaraan masing-masing.
Setiba di rumah sakit, kami langsung menuju masjid yang terletak di tengah area
rumah sakit untuk melaksanakan sholat Maghrib terlebuh dahulu.
Alhamdulillah...sangat menenangkan.
Kami melanjutkan perjuangan
dengan mencari informasi di bagian receptionist.
Seorang Bapak tengah baya yang bertugas di depan layar komputernya. Beliau
begitu tanggap dengan kehadiran kami di meja informasi tersebut.
“Ada yang bisa saya bantu, Mbak?”
“Maaf Pak, mau tanya.”
“Iya, silakan duduk dulu, Mbak!”
“Iya, terima kasih Pak. Begini
Pak, saya mencari pasien atas nama Ibu Puji. Kalau tidak salah check in hari Minggu sore.”
“Ya, saya cek dulu ya Mbak”,
beliau langsung mengecek data di komputer. “Hari Minggu yang masuk namanya
Muji, Mbak. Bukan Puji”.
“Bukan, Pak. Namanya Puji,
ibu-ibu.”
“Ya, sebentar, saya cek lagi,
rumahnya mana?”
“Perumahan Dirgantara Asri,
suaminya bernama Pak Bambang”, jelasku melengkapi. “Kata tetangganya, kemarin
sempat tidak sadar diri, Pak. Mungkin di ruang ICU?”, pintaku sok tahu.
Bapak petugas sibuk menginput
data dan mencari informasi yang kuminta. Masih belum juga ketemu. Mungkin
begitu melihat antusias dan penuh harapnya aku, beliau langsung menelepon tiga
ruang ICU untuk memastikan. Hasilnya masih nihil. Semua ruangan tidak ada
pasien bernama Ibu Puji.
“Maaf, Mbak. Tidak ada. Mungkin
dibawa ke rumah sakit yang lain.”
“Iya ya, Pak? Ya sudah, Pak.
Terima kasih. Mari Pak, saya permisi.”
Malam semakin larut, waktu sholat
Isya’ menjelang. Aku tak bisa melanjutkan langkah. Akhirnya kuputuskan untuk
pulang dan mencarinya di waktu yang lain. Aku, Bu Irma, dan Bu Ika berpisah di
tempat parkir, melanjutkan langkah ke arah rumah masing-masing.
Selama perjalanan, menyusuri
jalanan ringroad selatan Blok O hingga ringroad selatan Jalan Parangtritis,
kemudian memotong arah ke selatan menyusuri Jalan Parangtritis Km. 4 hingga Km.
15, pikiranku terus tertuju pada siswaku tersebut. Berbagai macam pertanyaan
berseliweran. Apakah aku harus menyambangi satu per satu rumah sakit se-Jogja?
Atau mungkin aku datangi saja Dinas Pendidikan Sleman agar aku bisa mendapat contact person ayahnya Febri?
Ups!!
Tak terasa, aku tinggal membelokkan stangku
ke kanan dan menyeberang. Namun, kuurungkan. Aku memilih untuk berhenti di
depan gerobak Martabak Mini Patalan. Ya, sekedar mampir membeli oleh-oleh untuk
adikku, mumpung habis gajian!I Aku
tak membeli banyak, karena hanya untuk aku dan adikku saja, kebetulan ibuku
sedang tidak di rumah, beberapa hari ini ibuku menginap di rumah nenek.
“Mas, martabaknya, sepuluh ribu
aja!”, aku memesan lantas duduk di sebelah kanan gerobak. Seorang laki-laki di
sebelah kiri gerobak mencoba mengajakku tersenyum. Tak kubalas. Bingung.
Lagi-lagi pikiranku masih tertuju pada siswaku, sambil kuoperasikan androidku,
yang ternyata banyak pesan menanti untuk kubalas. Satu per satu. Selesai.
“Rasa apa, Mbak?”
“Coklat keju campur!”, terpaksa
aku menoleh ke arah penjual dan terkaget saat melihat seorang laki-laki yang
tadi mencoba menyapaku dengan senyuman. Sepertinya aku mengenalnya. Tiba-tiba
diapun melempar pandangan ke arahku.
“Samsul?”, sapaku agak terkaget.
“Isna, tho? Mau arep tak sopo ndak salah e, kowe tak jak ngguyu ra respon”.
“Hehee...sori sori...lagi akeh pikiran”.
Samsul adalah teman sekelasku
waktu di SD dan SMP. Lama kami tidak bertemu, hanya sesekali berkomunikasi via
sms ataupun facebook. Padahal kami sekampus, beda fakultas. Namun aktivitas
kami berbeda jauh, baru satu kali berjumpa di Gedung Student Center, pusat kegiatan mahasiswa tingkat universitas.
Kami masing-masing bertanya
kabar, aktivitas sekarang, dan rencana masa depan. Kami bercerita cukup lama.
Kami memang sudah akrab. Aghhh...tak terasa, martabak pesanan kami sudah jadi
dari tadi, kutengok jam di handphoneku, sudah jam delapan lebih. Kami saling
berpamitan. Eh, ternyata martabak pesananku dibayarinya. Alhamdulillah...^_^
Sesampai di rumah, kuceritakan
perjalananku hari ini kepada adikku, sembari menikmati martabak yang sudah
dingin itu. Padahal martabak mini itu lebih enak dinikmati saat masih hangat.
***
Aha...! Teringat teman organisasiku, dulu
pernah mengatakan bahwa dia KKN PPL di Dinas Pendidikan Sleman, langsung
kuambil handphoneku. Kukirimkan sms.
Pak
Anggit, dl KKN PPL di Dinas Pendidikan Sleman?
Kenal Pak
Bambang? Boleh minta no.hp blio?
SMSku langsung
berbalas:
Iya, Pak Bambang siapa?
Aku kenale Pak Bambang Nindyo,
kebetulan jadi pembimbing KKN PPLku.
Ini no.hp nya. G tau masih aktif ato
g. Emg buat apa?
SMS keduanya
masuk, kontak.
Kubalas:
Ini ada siswaku, 2 minggu gak masuk skul.
Kata tetangganya, bapaknya kerja di
Dinas Pendidikan Sleman.
Rumahnya Perum Dirgantara bukan?
Balasannya:
Wah, ra reti nek
rumahe dimana.yo jajal dikontak wae.
Kubalas lagi:
Ok. Matur nuwun nggih..
Meskipun agak
ragu, karena nama lengkapnya berbeda, tanpa mengulur waktu lagi, aku langsung
mengirimkan sms ke nomor yang diberikan oleh temanku tadi. Terkirim. Berbalas.
Asslmu’alaykm..
Maaf Pak, apakah benar ini dg Pak
Bambang?
Sy Isna. Gurunya Mb Febri di SDIT Salsabila
3 Banguntapan.
Sy dpt no Bpak dr teman sy, yg pernah
KKN-PPL di kantor Bpak.
Wa’alaikumusalam,
Iya bu, ada apa ya?
Bagaimana
kbar ibu, Pak? Kemarin sy ke rumah Bpak, tp ksong tdk ada org.
Kata
ttgga, ibu opname di Harjolukito. Sy kesana kok tdk ad nama ibu.
Maaf
Pak, besok Senin tgl 2 Des, sdh mulai UAS. Mb Febri sdh bs msk blm?
Kutunggu-tunggu,
tak kunjung ada balasan. Apa aku salah sambung ya?
***
Dua pekan Ulangan Akhir Semester berlalu,
Febri belum juga masuk sekolah. Beberapa sms yang kukirimkan tak ada jawaban.
Sudah kucoba pula untuk menelepon. Hasilnya masih nihil. Hingga akhirnya
kuberanikan diri untuk menelepon ke nomor yang diberikan temanku waktu itu,
sebelumnya aku belum berani, karena sudah cukup yakin “mungkin” aku memang
salah sambung. Pemilik nomor tersebut bukan Pak Bambang Gunawan. Tak ada
salahnya aku memastikan. Kutelepon dengan telepon sekolah.
“Halo, assalamu’alaykum. Ada yang bisa saya
bantu?”, terdengar suara di seberang.
“Wa’alaykumussalam Pak. Maaf Pak mengganggu,
saya Isna, guru SDIT Salsabila 3 Banguntapan.”
“Iya, bagaimana Bu?”
Kemudian aku ceritakan secara singkat
pencarianku. Kusampaikan dan kutanyakan rekan kerja di kantor tersebut yang
bernama Pak Bambang, memang ada tiga nama Bambang. Namun yang beliau sebutkan
tidak ada nama Bambang Gunawan. Beliau menyarankan untuk mencoba mencari nama
Bambang yang lain di kantor Dinas Pendidikan yang lain.
Kututup percakapan dengan mengucapkan terima
kasih. Aku galau lagi. Kemana lagi aku harus mencari?
***
Lima hari lagi pembagian rapor. Nilai untuk
rapor kelasku belum usai terentri, hanya menunggu sederetan nilai seorang siswa
saja, Febri. Tiba-tiba terlintas dalam pikiranku. Kenapa tidak aku coba datangi lagi rumahnya? Ada ya alhamdulillah, gak
ada ya...takdir. Allah belum berkehendak mempertemukan kami.
Senin siang menjelang sore, kutancap gas
sepeda motorku menuju rumah Febri, kali ini aku tak mencari teman. Sesampai di
depan rumah bercat merah, ada harap dan seuntai senyum di hatiku. Pintu rumah
terbuka, pertanda ada orang di rumah tersebut. Kuparkir rapi sepeda motorku
agar tak memenuhi badan jalan. Keketuk pintu gerbang dan kuucapkan salam.
“Assalamu’alaykum...”.
Tak ada jawaban.
Kutunggu sebentar dan kuulangi salamku. Tak lama
kemudian pintu gerbang dibuka. Seutas senyuman malu dan kaget menghiasi wajah
seorang anak perempuan yang selama ini kucari-cari.
“Mbak Febri?!!!”, tanganku langsung
disambutnya. Kupeluk tubuhnya. Febri nampak beda, sedikit pucat, dan tak
seceria biasanya.
Seketika itu, kelegaanku membuncah. Haru. Bungah.
Plong...
Akupun diajak masuk ke dalam rumah bertemu
dengan ibunya. MasyaAllah, ibunya berbaring di lantai dengan alas kasur tipis,
beberapa perabot di sekitarnya yang terlihat tak pada tempatnya. Hal tersebut
sudah menjadi hipotesaku, kenapa Febri tak masuk sekolah begitu lama. Hanya
mengandalkan ibu. Ketika ibu jatuh sakit, tak ada yang mengurus Febri, apalagi
sekedar perabor rumah, tak ada yang merapikan.
Sang ibupun begitu kaget dan takjub melihat kedatanganku
yang tiba-tiba ini. Bertanya kabar dan bercerita panjang lebar, tentang
keluarga, tentang sakitnya, dan setelahnya. Tenyata Ibu Puji pada Minggu sore
tiba-tiba tak sadarkan diri, kemudian dibawa ke RSU Sardjito. Opname di sana
selama sekitar 3 minggu. Penyakit gulanya kambuh, katanya ini kambuh terparah.
Febri dirawat oleh Budhenya yang tinggal di Kalasan Sleman. Meskipun ibu sudah
pulang dari rumah sakit, tetapi kondisinya belum pulih benar. Jangankan naik
sepeda motor untuk mengantar Febri berangkat sekolah, sekedar beraktivitas
jalan di dalam rumah saja belum kuat. Badannya begitu kurus dan kering.
Makanannya hanya tela-telaan atau makanan yang tak mengandung banyak gula.
Tentang keluarga Febri. Ternyata ayah dan ibu
menikah sudah dalam keadaan tua, anak satu-satunya dari pernikahan mereka hanya
Febri. Memang ada saudara Febri yang lain, namun beda ayah, maupun beda ibu,
dan hampir semuanya sudah menikah. Pak Bambang Gunawan, ternyata bertugas di
Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta, Jalan Cendana. Heummm...Pantesan...! Aku salah.
Usai cukup mendengarkan cerita beliau, aku
sampaikan tujuan keduaku, yaitu mengantarkan soal UAS yang harus dikerjakan
Febri, karena rapor harus segera diolah. Kebetulan sebelum berangkat ke rumah
Febri tadi, aku siapkan segala berkas dan barang yang harus aku sampaikan. Ada
soal latihan, kisi-kisi ujian, surat pemberitahuan dan undangan penerimaan
rapor, surat informasi keputusan Forsigo, dan tiga kotak susu jatahnya Febri.
Terkait UAS, aku memberikan keringanan dan kemudahan untuk Febri mengerjakan.
Dia cukup mengerjakan di rumah, dan 2 hari lagi soal akan kuambil. Ujian
prakteknya kebetulan hanya menyanyi untuk mata pelajaran SBK dan tahfiz atau
hafalan, kuambil nilai saat itu juga. Make
it simple.
Hari makin sore, aku berpamitan kepada ibu dan
Febri. Meskipun sebenarnya, aku masih ingin bercerita dengan Febri, bertanya
tentang keadaannya dari hati ke hati. Ada cahaya harap yang mampu kubaca dari
wajahnya. Ada cerita yang ingin dia sampaikan, namun sepertinya waktu hampir 1
bulan menciptakan jarak hatinya dariku, agak kaku. Aku hanya mampu sedikit
cerita tentang teman-teman 1B yang begitu merindukan kehadiran Febri.
Berpamitan dengan Febri dan memberikan sepotong harapan untuknya segera kembali
bersekolah dan optimis. Dia tersenyum. Tak banyak kata.
Akupun pulang, membawa sejuta kebahagiaan ke
rumah. Hanya senyum yang kuuntai selama perjalanan pulang. Lega. Bahagia.
Optimis.
***
Bantul, 1 Februari 2014
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
*Cerpen ini mendapat penghargaan Juara I dalam perlombaan Menulis Cerpen Guru Inspiratif Tahun 2014 yang diselenggarakan oleh KKG Salsabila Yayasan SPA Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan berbagi...^_^